Dahulu kala, ketika jari-jariku pertama kali menari dengan manik, aku bagai perindu yang baru menemukan suara. Setiap butir manik halus yang kususun ibarat bait-bait pantun yang kutembang tanpa aturan—hanya mengikut gerak hati yang ghairah. Larut malam sering menjadi saksi, ketika cahaya lampu dan gemerlap manik berpadu, menemani kesabaranku merangkai impian menjadi bentuk.
Waktu itu, dunia memanik bagiku hanyalah tentang manik-manik halus yang berkilauan. Karya yang lahir darinya mungkin sederhana, tapi tulus, seperti puisi kanak-kanak yang ditulis dengan getaran jiwa yang murni.
Jika dahulu aku hanya melihat manik sebagai butiran warna, kini ia adalah metafora—setiap biji mewakili detik waktu, setiap rangkaian adalah fragmen hidup. Dan di ujung perjalanan ini, satu hal yang tetap kuyakini: seni memanik, seperti kehidupan, tak pernah kehabisan kejutan untuk mereka yang mau terus belajar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan